Ketika Objek Kendali Subjek, Kontrol Sosial Dikontrol Siapa?
Oleh: apt. Munir Alinu Mulki, M.Farm
Peserta Latsar CPNS LAN RI Angkatan XV Gelombang V Tahun 2022 FRASA ‘kontrol sosial’ – sebagaimana kita tahu, lekat kaitannya dengan agen perubahan dan penjaga nilai. Kata-kata ini tentu bukan hal yang baru, bagi kita yang pernah menyandang status sebagai mahasiswa. Mahasiswa, sebagai puncak tertinggi dari strata pendidikan tentu memiliki posisi khusus baik dalam masyarakat maupun pejabat. Menduduki ‘kesempatan terbatas’ sebagai manusia yang ditakuti presiden (sebagaimana dilansir dari pusi Taufik Ismail), posisi ini tentu menjadi krusial bagi masa depan diri, keluarga, bahkan negara. Menilik sejarah panjang bangsa, pemuda selalu memiliki andil dalam mewarnainya. Dimotori golongan muda dalam Peristiwa Rengasdengklok, dilanjutkan dengan Tritura dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI), sampai berakhirnya era Orde Baru yang ditandai dengan jatuhnya empat Pahlawan Reformasi. Artinya apa? Jatuh bangunnya bangsa, ditentukan oleh pemudanya. Sebagaimana perkataan Sang Proklamator “Dengan 10 pemuda akan mengguncang dunia†maka bukan hal yang utopis jika masyarakat kita menggantungkan harapannya kepada pemuda. Sayangnya, tak semua pemuda memiliki idealitas yang sama. Sebagian mereka lupa, bahwa salah satu penyebab dari kalahnya Dinasti Qing di Tiongkok diawali dengan ditanamnya candu di Benggala dan diizinkannya para pedagang swasta Inggris untuk menyelundupkan opium ke Tiongkok secara ilegal. Bukan hanya perubahan keuangan negara yang tadinya surplus menjadi defisit, jauh dari itu – jumlah pecandu opium dari dalam negeri (khususnya para pejabat) meningkat pesat. Hal ini tentu layak menjadi perhatian, bagi negara yang 27% pengguna narkobanya adalah kalangan pelajar dan mahasiswa (suara.com). Sebagaimana dilansir dari tempo.com, Oktober 2021 lalu BNN telah melakukan penggerebekan di sebuah perguruan tinggi di Sumatera Utara. Hasilnya, 31 orang positif menggunakan narkotika dengan 508,6 gram sabu. Juni 2021, salah satu mahasiswa di NTB didapati mengkonsumsi ganja seberat 3 kilogram. Tahun sebelumya di Jawa Barat, dua mahasiswa perguruan tinggi ditangkap dengan barang bukti 533,62 gram sabu. Bulan Julinya, 4 kilogram ganja ditemukan pada tiga mahasiswa di Jakarta Barat. Bukan hanya konsumen, mahasiswa kita bahkan menjadi pengedar untuk narkoba lintas kampus sebagaimana temuan Polres Jakarta Barat dan Tim Opsnal Subdit 3 Distresnarkoba Polda Lampung pada Agustus 2021. Mendukung fakta tersebut, beberapa penelitian dan survey membuktikan bahwa kita memang ‘sempat kecolongan’. Menurut survey nasional 2019, sebanyak 118.334 mahasiswa atau 47,40% responden mengaku pernah memakai narkoba. Dari data tersebut, ditemukan pula bahwa sebanyak 2,3 juta pelajar atau mahasiswa di Indonesia pernah mengkonsumsi narkoba. Penelitian Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia juga mengatakan, bahwa tingginya aksesbilitas mahasiswa terhadap informasi narkoba tidak serta merta meningkatkan pengetahuan mahasiswa akan narkoba. Keadaan ini diperparah, dengan tidak terpengaruhinya mahasiswa untuk menyalahgunakan narkoba meski tingkat pengetahuannya rendah. Bahkan 34% diantaranya tergolong beresiko tinggi terekspos penyalahgunaan narkoba. Dengan fakta-fakta di atas, tak heran jika Indonesia adalah pasar narkoba terbesar di Asia. Padahal, daya rusak narkoba ini lebih serius dibandingkan korupsi dan terorisme, setidaknya begitulah yang dikatakan Kepala Badan Narkotika Nasional, Petrus Reinhard Golose saat memberikan kuliah umum di ITB pada November 2021. Jauhnya, sebagaimana dikatakan Dokter Shelly Iskandar dalam Webinar Pembinaan Mental dan Kebangsaan Unpad, “Ketika narkoba masuk ke dalam otak, ia dapat merusak system di otak sehingga merubah kepribadian seseorang. Ketika fungsi kontrol yang ada pada otak bermasalah, maka otak tidak lagi mampu membedakan mana yang membahayakan dan tidak – sehingga, kerap kali pengguna narkoba tetap ‘kecanduan’ sekalipun tahu bahayanya. Sampai terbentuk pola bahwa narkoba adalah solusi dari rasa tidak nyaman, yang mengubah implusif menjadi komplusifâ€. Hal ini tentu akan mengubah peran mahasiswa sebagai ‘pengontrol’ jadi ‘dikontrol’ dengan ketidakmampuannya dalam mengendalikan diri dan lingkungan. Narkoba yang mestinya menjadi objek yang dikendalikan, seakan ‘menggeser’ peran subjeknya dengan membuat ketergantungan, meski sebenarnya ia ‘membunuh diam-diam’. Efek sakau yang diawali dengan kompromi tanpa toleransi, experimental use yang mulanya hanya memenuhi rasa ingin tahu; reactional use yang awalnya sekadar ‘bagaimana bisa nyambung dengan teman’; berubah menjadi situasional use yakni dorongan menggunakan kembali, meningkat menjadi intensive use atau penggunaan setiap hari, sampai pada dependen use yakni bagaimana menghilangkan rasa tidak nyaman dan kecewa. Oleh karena itu, perwujudan Indonesia Bersinar atau Bersih Narkoba, pun digaungkannya Hari Anti Narkotika Nasional pada setiap 26 Juni mestinya tidak lagi sebatas wacana atau seremonial belaka. Ketika kontrol sosial kita dikontrol oleh narkoba, maka penanganan ini bukan lagi hal yang mesti dikesampingkan. Perlu adanya kerjasama konsisten antara perguruan tinggi baik swasta mupun negeri di seluruh Indonesia untuk mencegah peredaran narkoba khususnya di lingkungan kampus, adanya pengawasan dari dinas pendidikan kepada para pelajar dan mahasiswa, diadakannya program edukasi terkait bahaya penyalahgunaan narkoba, koordinasi dengan BNN agar kampus bebas narkoba, sampai didirikannya klinik sebagai wujud nyata realisasi program. Didirikannya klinik sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama di lingkungan kampus, dapat menjadi wadah bagi terselenggarakannya program-program di atas. Sebagai media terselenggarakannya program, juga implementasi teori bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan dapat terwujud konkret. Jauhnya, klinik ini bisa menyediakan fasilitas rehabilitasi, konsultasi, bahkan terbuka bagi masyarakat secara luas. Di samping itu, peran orang terdekat termasuk orang tua dan kerabat juga menjadi penting dalam hal ini, tentu dengan pendekatan yang juga tidak menghakimi. Penyebab narkoba yang reratanya diawali oleh masalah pribadi, keluarga, kelompok sosial, dan lingkungan tentu dapat ditekan apabila ada perhatian semua pihak. Keterlibatan mahasiswa dalam organisasi yang akan ‘mengurangi waktu tidak bermanfaat’, manajemen kampus yang mengutamakan pencapaian selama perkuliahan, dan adanya teladan dari berbagai pihak juga dapat menjadi perhatian. Dengan begitu, kontrol sosial kita tetap terjaga dengan adanya kontrol dari semua pihak. Pun fungsi mahasiswa sebagai harapan masa depan bangsa. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: